Minggu, 18 September 2011

Diantara Optimisme Pasar Jagung Nasional & Pesimisme Daerah

Sangat disayangkan, mungkin itu adalah kalimat yang patut diucapkan kepada para pengambil keputusan untuk pertanian jagung di Sulawesi Utara. Jika pada awal tahun 2006, dengan penuh optimis Pemprov mencanangkan crash program yang salah satunya adalah komoditi jagung, maka saat ini terlihat penurunan idealisme untuk meningkatkan produktivitas jagung Sulut, hal ini dapat dilihat dari tidak efektifnya program studi banding ke China, munculnya opini untuk membangun pusat industri benih, serta adanya statement dari kalangan petani yang mengatakan bahwa percuma untuk menanam jagung di Sulut karena tidak adanya dukungan jaminan pembelian dari Pemerintah.

Lebih menganehkan lagi adalah cara Pemprov dalam menarik investor belum lama ini dengan even yang bertajuk Sulut Expo yang diselenggarakan di Semanggi Expo, Jakarta. Even yang seharusnya merupakan sarana yang paling tepat untuk mendapatkan investor potensial yang dapat mengelola potensi sumber daya yang tersedia di Sulut, tetapi malahan sebaliknya, even ini bisa dikatakan pemborosan uang belaka, karena setelah diperhatikan stan-stan yang ada kurang aktif dan kurang menjual kepada investor, dan bisa dikatakan even ini hanya ramai didatangi pengunjung oleh karena dua alasan, yaitu, pertama, menjadi ajang bakudapa bagi para kawanua di Jakarta dan sekitarnya, serta kedua, karena adanya pemilihan nyong dan noni Sulut Expo yang akhirnya semakin memperjelas status Sulut dimata masyarakat luar bahwa definisi dari Manado adalah “menang tampang doang”.

Saya berani mengatakan hal ini karena apakah wajar suatu even yang tujuan utamanya adalah untuk mencari investor namun diisi dengan acara seperti pemilihan nyong dan noni Sulut Expo, seharusnya even ini tidak boleh disamakan dengan ajang seperti automotive expo, hal ini dikarenakan target market dari automotive expo adalah end-customer atau masyarakat pengguna langsung yang harus harus dimanjakan mata dan hati calon pelanggannya, sedangkan Sulut Expo harus memanjakan investor dengan memaparkan potensi-potensi daerah yang ada yang bisa dijual.

Kita bisa mengambil contoh positif dari Provinsi Gorontalo yang merupakan Provinsi pemekaran dari Sulut, bisa dikatakan Provinsi ini lebih cepat tanggap terhadap potensi komoditi jagung, seperti informasi yang didapat dari harian Bisnis Indonesia tanggal 24 Juli 2006, dituliskan bahwa selama Juli 2006 Provinsi tersebut melalui BUMDnya, PT Gorontalo Fitrah Mandiri, sanggup mengekspor jagung ke Filipina sebesar 13.000 ton dan juga telah melakukan pengiriman ke beberapa daerah di indonesia sebanyak 204.150 ribu ton, bahkan salah satu perusahaan pakan ternak di Manado telah membeli jagung sebanyak 20 ton di bulan Juli 2006.

Selain itu juga, pusat riset jagung nasional di Provinsi Gorontalo berhasil mengembangkan varietas baru jagung unggulan dengan menyilangkan jenis lokal dan varietas yang dikembangkan di tempat lain yang menyebabkan produksi jagung di tahun 2005 menjadi sebesar 451.094 ton jika dibandingkan tahun 2000 yang hanya 76.573 ton. Dengan hasil tersebut Provinsi Gorontalo menjadi daerah percontohan untuk pengembangan jagung di Indonesia Timur, hal ini ditunjukan dengan adanya studi banding Pemkab Mamuju, Provinsi Sulbar ke Provinsi Gorontalo.

Contoh lainnya yang menggambarkan keberhasilan pemerintah daerah dalam menarik investor salah satunya adalah antara Pemerintah Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) di Sumatera Utara dengan investor Singapura, PDC international Pte Ltd yang telah menandatangani MoU Pengembangan Usaha dan Sistem Agribisnis Tanaman Jagung. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah Pemkab Tobasa akan mengurus proses administrasi dan penyediaan lahan oleh petani, sementara PDC International akan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan petani seperti bibit, pupuk, mesin dan alat pertanian, teknologi pertanian, serta peningkatan pengetahuan petani. PDC International juga menjamin pemasaran hasil produksi jagung sesuai dengan harga pasar.

Jika dilihat dari perkembangan pertanian jagung yang ada di Indonesia, dapat dikatakan bahwa prospek komoditi jagung nasional untuk ke depan menunjukan signal yang positif, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti produksi jagung nasional pada tahun 2005 yang mencapai 12,52 juta ton pipilan kering atau naik sebesar 1,30 juta ton yang disebabkan oleh kenaikan luas panen dan produktivitas baik jawa maupun luar jawa, perkembangan impor yang dapat ditekan dari 1 juta ton pada tahun 2004 menjadi hanya 400 ribu ton di tahun 2005, konsumsi tahun 2005 yang sebesar 11,83 juta ton yang terbagi atas industri pakan ternak 4,92 juta ton, konsumsi masyarakat 4,21 juta ton dan industri olahan 2,7 juta ton.

Selain prospek dari indikator perdagangan jagung nasional, terdapat pula indikator lainnya yang mendukung prospek jagung nasional, seperti, perubahan status Amerika Serikat dan China menjadi negara pengimpor jagung yang sebelumnya kedua negara ini merupakan produsen utama jagung dunia, dipilihnya komoditi jagung oleh Amerika Serikat sebagai bahan baku produksi etanol untuk subtitusi bahan bakar fosil, ditetapkannya Sulawesi sebagai sentra jagung nasional, dibangunnya silo jagung dibeberapa daerah oleh departemen pertanian termasuk Gorontalo dan Bolaang Mongondow, silo ini diperuntukan agar hasil panen jagung dapat disimpan dan didistribusikan secara kontinyu.

Menurut pendapat saya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas jagung dan juga menarik minat investor. Pertama, dibangunnya saluran irigasi ke perkebunan jagung dengan berkerja sama antara petani dan Pemerintah, karena produktivitas jagung akan berlangsung normal jika tanaman tersebut setiap dua minggu sekali dilakukan pengairan.

Kedua, dibangunnya infrastruktur jalan yang memadai antara kebun, tempat pemipilan, pengeringan, dan untuk jalur distribusi agar orngkos transportasi yang menjadi beban petani bisa berkurang yang pada akhirnya harga jagung lokal mempunyai daya saing terhadap pasar.

Ketiga, disediakannya alat pengering jagung, hal ini sangat perlu diperhatikan, karena bila pada umumnya petani tradisional mengeringkan jagung dengan dijemur dibawah sinar matahari, maka bila terjadi panen besar maka lahan tempat penjemuran menjadi terbatas, sehingga petani terpaksa menjual jagung yang kadar airnya masih tinggi dengan harga murah daripada disimpan dan menjadi rusak.

Keempat adalah penjaminan harga, penjaminan harga ini harus dilakukan untuk menekan fluktuasi akibat perubahan harga komoditi jagung dipasaran Internasional. Dengan adanya hal ini maka terciptanya kepastian usaha bagi petani yang berakibat pula pada kepastian produksi bahan baku untuk industri yang membutuhkan. Metode ini telah diterapkan di Provinsi Gorontalo.

Namun inti dari semua solusi diatas adalah komitmen penuh dari seluruh masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Utara dalam memajukan pertanian jagung. Saya harap dengan tulisan ini, mata seluruh stakeholder yang ada di Provinsi Sulawesi Utara bisa terbuka akan potensi pasar jagung nasional yang ada, yang pada akhirnya bisa mensejahterakan masyarakat dan memajukan perekonomian daerah.